OBJECTIVE
o Sejarah Singkat Teknologi Pemboran
o Mengenal parameter-parameter T. Pemboran
Perencanaan Sumur ( Well Planning)
Klafisikasi Type Sumur
Tekanan Formasi
Perencanaan Biaya
Proses P:erencanaan Sumur
o Persiapan Operasi Pemboran
o Lumpur Pemboran
o Semen Pemboran
o Problem Lubang Pemboran (Hole Problem)
SEJARAH SINGKAT
TEKNOLOGI PEMBORAN
1859
Sumur minyak pertama dibor pada kedalaman kurang dari 100 ft oleh Colonel Drake di Titusville, Pennsylvania.
Sumur tersebut mampu memproduksikan minyak sekitar 50 barrel/hari.
Metoda pemboran yang digunakan adalah “cable-tool drilling”, yaitu menarik dan menurunkan drillstring dalam lubang bor, seperti metoda yang digunakan pada pekerjaan teknik sipil.
Metoda “cable-tool drilling” ini digunakan hingga tahun 1930-an.
1890
Pertama kali metoda bor putar (rotary drilling) diperkenalkan.
1901
Metoda rotary drilling sukses digunakan untuk membor sumur minyak untuk pertama kalinya di Spindletop, Texas, dimana minyak ditemukan pada kedalaman 1.020 ft dan mampu berproduksi sekitar 100.000 bbl/hari.
Metoda rotary drilling sejak saat itu terus mengalami perkembangan yang cukup pesat, dan bahkan saat ini sudah mampu digunakan untuk membor sampai kedalaman 30.000 ft.
PERENCANAAN SUMUR
(WELL PLANNING)
Perencanaan sumur merupakan suatu hal yang sangat penting dalam persiapan program pemboran. Untuk itu, diperlukan berbagai macam prinsip-prinsip teknik disamping faktor pelaksanaan dan pengalaman. Walaupun suatu metode perencanaan sumur sudah dipraktekan, tetapi masih memungkinkan terjadinya perubahan sejalan dengan pelaksanaan pemboran itu sendri, dan pada akhirnya semuanya harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu : keamanan, minimisasi biaya pemboran, dan metoda produksi yang digunakan.
Dalam suatu perencanaan sumur akan melibatkan berbagai disiplin keahlian, yaitu para ahli yang berpengalaman dalam bidang pemboran yang dapat memadukan semua aspek pemboran secara baik. Mereka menggunakan perlengkapan maupun piranti teknik, seperti komputer dan beberapa alat bantu lainya dalam merencanakan sumur.
Dalam merencanakan sumur seorang drilling engineer harus dapat berperan sebagai seorang detektif seperti “Sherlock Holmes” yang mampu melihat karakter dan aspek perencanaan dalam usaha untuk menemukan tempat atau area yang terdapat masalah.
1. Perencanaan Sumur
Dalam perencanaan sumur diperlukan beberapa variabel sebagai berikut :
Keamanan (safety)
Biaya minimum (minimum cost)
Usable Hole
Pada kenyataannya tidak selalu faktor-faktor di atas terdapat pada setiap sumur, karena adanya kendala-kendala yang terkait dengan masalah geologi
dan peralatan pemboran, seperti tekanan, temperatur, keterbatasan ukuran casing, ukuran lubang bor, mapun anggaran.
1.1. Keamanan (Satety)
Faktor keamanan harus mendapat prioritas yang paling tinggi dalam perencanaan program pemboran. Pertimbangan manusia harus ditempatkan diatas seluruh aspek. Dalam pelaksaanaan pemboran, perencanaan sumur dapat dirubah, jika sampai terjadi problem pemboran yang akan membahayakan para pekerja. Kegagalan faktor keamanan ini dapat mengakibatkan kematian, kebakaran, dan cacat pada individu .
Prioritas selanjutnya dalam segi keamanan yang harus selalu diperhatikan adalah perencanaan pemboran harus didesain agar dapat meminimalkan resiko terjadinya semburan liar (blow-out) dan faktor kemungkinan terjadi problem pemboran (hole problems). Desain ini harus berdasarkan pada sumber data yang terkait dalam perencanaan sumur.
1.2. Biaya Minimum.
Dalam perencanaan sumur diusahakan untuk menekan biaya sekecil mungkin, tanpa mengabaikan aspek keamanan. Pada banyak kasus, biaya dapat di sesuaikan pada batas-batas tertentu dalam usaha perencanaan (Gambar-1). Hal Ini bukan berarti membangun “Monumen baja” untuk faktor keamanan jika biaya tambahan tidak diperlukan. Pada sisi lain,uang harus di keluarkan untuk membangun sistem keamanan.
1.3. Usable Hole (Lubang Bor Terpakai)
Lubang bor yang mencapai target kedalaman tidak selalu sesuai seperti yang di harapkan. Jika sumur yang dihasilkan pada akhirnya tidak sesuai
dengan konfigurasi, maka sumur tersebut tidak dapat dilakukan komplesi dan akibatnya sumur tersebut tidak dapat diproduksikan (gagal).
Untuk itu, istilah “usable” tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
Ukuran diameter lubang bor sesuai dengan komplesi sumur yang akan dilakukan .
Formasi produksi tidak mengalami kerusakan yang tidak dapat di perbaiki.
Gambar-1
Biaya pemboran vs perencanaan sumur yang baik
Perencanaan sumur akan sukar dicapai, jika dijumpai adanya tekanan abnormal, sumur dalam yang mengalami problem geometri sumur ataupun lumpur .
2. Klasifikasi Tipe Sumur
Seorang drilling engineer dalam membuat perencanaan pemboran harus memahami tentang tipe-tipe sumur, yaitu :
Sumur wildcat
Sumur eksplorasi
Sumur deliniasi
Sumur infill
Sumur reentry
Pada umumnya untuk sumur wildcat memerlukan perencanaan yang lebih rumit dibandingkan dengan tipe lainnya. Sedangkan untuk sumur infill dan reentry memerlukan perencanaan yang lebih sederhana.
Perencanaan pemboran sumur wildcat hanya dengan menggunakan sedikit data geologi. Sumur wildcat adalah merupakan sumur yang sangat mahal, karena bersifat “gambling” dalam penentuan titik sumur. Sedangkan untuk berbagai pemboran untuk sumur-sumur pengembangan dapat di gunakan data dari beberapa sumber yang tersedia.
3. Tekanan Formasi
Tekanan formasi (tekanan pori) adalah tekanan yang dijumpai pada sumur dan sangat berpengaruh dalam perencanaan sumur. Tekanan formasi dapat dikategorikan normal, abnormal (tekanan tinggi) atau tekanan subnormal (tekanan rendah).
Tekanan normal biasanya tidak mendatangkan masalah dalam perencanaan sumur, dan berat lumpur yang digunakan berkisar 8,5 - 9,5 lb/gal.
Pencegahan kick dan blouw-out dapat diminimalkan, tetapi tidak boleh di hilangkan sama sekali. Pada kondisi tekanan normal diperlukan casing yang dapat menahan tekanan tersebut, maupun tekanan normal pada sumur-sumur dalam dengan kedalaman lebih dari 20.000 ft karena adanya pembebanan tension/collapse.
Sumur-sumur yang bekanan subnormal diperlukan casing tambahan untuk melindungi zona lemah atau formasi yang bertekanan rendah. Tekanan yang lebih rendah dari tekanan normal ini dihasilkan dari faktor geologi atau tektonik atau dari hilangnya tekanan (pressure depletion) pada interval produksi.
Tekanan abnormal mempengaruhi perencanaan sumur, yaitu meliputi :
Casing and tubing design
Penentuan densitas dan jenis lumpur
Casing setting depth selection
Perencanaan semen
Berikut adalah masalah-masalah yang harus dipertimbangkan akibat adanya formasi yang bertekanan tinggi (abnormal) :
Kick dan blowout
Terjadinya defferential pressure dan terjepitnya pipa
Hilang lumpur atau sirkulation akibat lumpur terlalu berat
Heaving shale
Karena kesulitan yang berkaitan dengan perencanaan sumur eksplorasi yang bertekanan tinggi, maka kriteria desain, studi detail daerah, dan berbagai usaha harus dijustifikasi. Seorang drilling engineer harus mampu membatasi permasalahan dalam merencanakan parameter-parameter yang terkait dengan perencanaan sumur seperti deliniasi ataupun infill.
4. Perencanaan Biaya
Biaya yang diperlukan untuk perencanaan sumur disesuaikan sebagai perbandingan dari biaya pemboran sebenarnya. Pada banyak kasus, kurang dari US$1.000 dikeluarkan untuk perencanaan sebuah sumur yang bernilai US$1 juta, hal ini berarti merepresentasikan 1/10 dari 1% biaya pemboran.
Sering kali hasil akhirnya adalah merupakan biaya pemboran yang melebihi jumlah yang diperlukan. Untuk itu, diusahakan mengurangi data-data yang tidak terlalu penting. Meskipun data yang baik biasanya dapat diperoleh dengan biaya kurang dari US$ 2,000 – US$ 3,000 per prospek, beberapa perencanaan sumur tanpa pengetahuan tentang kemungkinan terjadinya problem pemboran. Kurangnya pengeluaran biaya pada tahap awal dalam proses perencanaan sumur hampir selalu menimbulkan biaya pemboran menjadi lebih tinggi dari perkiraan.
5. Proses Perencanaan Sumur
Perencanaan sumur adalah merupakan suatu proses pekerjaan yang sistematis dan urut. Hal ini memerlukan banyak aspek perencanaan yang dikembangkan sebelum mendisain item-item lainnya. Sebagai contoh, perencanaan densitas lumpur harus dilakukan sebelum pembuatan program casing, karena densitas lumpur akan berpengaruh terhadap pembebanan pada pipa. Gambar-2 memperlihatkan sistematika perencanaan sumur.
Program bit dapat dilakukan kapan saja dalam perencanaan sumur setelah historical data dievaluasi. Program bit biasanya berdasarkan pada parameter-parameter pemboran dari sumur-sumur sebelumnya. Tetapi, pemilihan bit
dapat dipengaruhi oleh perencanaan lumpur, seperti performance PDC dalam oil based mud. Selain itu, ukuran bit juga ditentukan berdasarkan ukuran diameter casing yang diperlukan.
Gambar 2
Proses Perencanaan Sumur
PERSIAPAN OPERASI PEMBORAN
Dalam operasi pemboran, peralatan pemboran yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi 5 sistem, yaitu :
1. Sistem Pengangakatan (Hoisting System)
2. Sistem Pemutar (Rotating System)
3. Sistem Sirkulasi (Circulating System)
4. Sistem Tenaga (Power System)
5. Sistem Pencegah Semburan Liar (BOP System)
Kelima sistem tersebut diatas mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bahwa kerja sistem-sistem tersebut berlangsung pada waktu yang bersamaan.
Operasi pemboran adalah merupakan suatu kegiatan yang terpadu dengan kegiatan-kegiatan lainnya dalam industri perminyakan.
Pada masa sekarang, operasi pemboran dapat dilaksanakan baik di darat (on-shore) maupun di lepas pantai (off-shore). Peralatan yang digunakan untuk operasi pada kedua tempat tersebut pada prinsipnya sama, perbedaannya adalah tempat untuk menempatkan menara (rig) serta perlengkapannya.
Tahap Persiapan Operasi Pemboran ini meliputi :
1. Persiapan tempat
2. Pengiriman pelaratan ke lokasi
3. Penunjukan pekerja
4. Persiapan rig dan pendiriannya.
5. Peralatan penunjang dan pemasangannya
6. Persiapan akhir.
Persiapan Tempat
Pada tahap persiapan tempat ini, terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :
Pembuatan sarana transpotasi
Pembutan kolam cadangan (reserve pit)
Persiapan lubang bor (Cellar)
Memasang Conductor Pipe
Penyediaan air
Gambar 3
Pembuatan Sarana Transportasi
Gambar 4
Pemasangan Pipa Conductor
Gambar 5
Pembuatan Cellar
Gambar 6
Pembuatan Kolam Cadangan (Reserve Pit)
Gambar 7
Penyediaan Air
Pengiriman Peralatan ke Lokasi
Pengiriman peralatan melalui darat
Pengiriman peralatan melalui air
Pengiriman peralatan melalui udara
Gambar 8
Pengiriman Peralatan (Darat, Laut, Udara)
Penunjukan Pekerja
Dalam pelaksanaan operasi pemboran, kebutuhan personil yang berpengalaman adalah merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Personil-personil tersebut terdiri dari kru kontraktor pemboran dan kru perusahaan jasa (service company).
Kebutuhan personil tersebut adalah sebagai berikut :
o Company man
o Tool pusher
o Driller
o Derrickman
o Rotary helper
o Motor man
o Rig mechanic.
o Rig electrician
o Mud engineer
o Mud logger
o Casing and cementing crew
Gambar 9
Personil Yang Mendukung Operasi Pemboran
Mendirikan Rig
Pengiriman unit rig ke lokasi pemboran biasanya berupa bagian-bagian (modul-modul). Kontraktor pemboran dan kru-nya dengan menggunakan mesin derek segera memulai pemasangan dan pendirian menara bor atau rig (“rigging up”).
Peralatan Penunjang dan Pemasangannya
Dengan selesainya pendirian rig, tahap berikutnya adalah mulai memasang peralatan-peralatan penunjang. Peralatan penunjang ini biasanya dikirim dengan truck, tetapi untuk bebarapa komponen yang besar, seperti mud pump biasanya dikirim dengan truck yang dilengkapi dengan mesin derek atau dengan menggunakan flat bed truck.
Dengan telah siapnya peralatan penunjang, kru pemboran dengan tugasnya masing-masing mulai menyambung bagian-bagian dari berbagai peralatan yang terangkai menjadi suatu sistem dari rotary drilling yang siap untuk melaksanakan operasi pemboran. Material pemboran, seperti bahan-bahan lumpur pemboran, dan peralatan-pelatan lainnya seperti drill pipe, drill collar, tool joint juga diatur pada tempat yang telah tersedia.
Pada dasarnya persiapan tahap “rigging up” ini dapat dikatakan mendekati penyelesaian, sehingga lokasi pemboran tersebut telah berubah menjadi suatu komplek rotary drilling yang modern
Gambar 10
Urutan mendirikan Menara
Persiapan Akhir
Persiapan akhir ini meliputi 2 hal pokok, yaitu :
1. Persiapan Lumpur Pemboran, kru pemboran mulai mempersiapkan lumpur pemboran untuk circulating system. Pada umumnya pada saat pelaksanaan pemboran surface hole, tekanan formasi pada trayek ini relatif kecil, sehingga cukup digunakan air tawar.
2. Pengecekan Komponen-komponen Sistem Pemboran, persiapan akhir untuk memulai pemboran kini sudah hampir mendekati penyelesaian. Persiapan akhir ini termasuk pengecekan untuk kedua kalinya dari setiap komponen sistem pemboran yang ada pada sistem rotary drilling.
Pengecekan sistem pemboran tersebut meliputi :
Sistem Pengangakatan (Hoisting System)
Sistem Pemutar (Rotating System)
Sistem Sirkulasi (Circulating System)
Sistem Tenaga (Power System)
Sistem Pencegah Semburan Liar (BOP System)
Setelah tahap persiapan akhir telah selesai, maka operasi pemboran dapat dilaksanakan baik untuk membor sumur minyak atau gas.
Gambar 11
Sistem Pengangakatan (Hoisting System)
Gambar 12
Sistem Pemutar (Rotating System)
Gambar 13
Sistem Sirkulasi (Circulating System)
LUMPUR PEMBORAN
Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam operasi pemboran. Kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan dan biaya pemboran sangat tergantung dari lumpur pemboran yang dipakai.
Lumpur pemboran diperkenalkan pertama kali dalam pemboran putar pada sekitar awal tahun 1900. Pada mulanya orang hanya menggunakan air untuk mengangkat serbuk bor (cutting) secara kontinyu. Kemudian dengan berkembangnya teknologi pemboran, lumpur mulai digunakan, dan fungsi lumpur menjadi semakin komplek dan untuk memperbaiki sifat-sifat lumpur tersebut ditambahkan bahan-bahan kimia (additive).
1. Fungsi Lumpur Pemboran
Fungsi utama lumpur pemboran adalah :
1. Mengangkat serbuk bor ke permukaan
2. Mengontrol tekanan formasi
3. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring
4. Membersihkan dasar lubang bor
5. Membantu dalam evaluasi formasi
6. Melindungi formasi produktif
7. Membantu stabilitas formasi
1.1. Mengangkat Serbuk Bor ke Permukaan
Serbuk bor yang dihasilkan pada waktu operasi pemboran harus segera diangkat ke permukaan agar tidak terjadi penumpukan serbuk bor di dasar lubang. Kapasitas pengangkatan serbuk bor tergantung dari beberapa faktor, antara lain : kecepatan aliran di anulus, viskositas plastik, yield point lumpur pemboran dan slip velocity dari serbuk bor yang dihasilkan.
Secara umum, resultan kecepatan (atau kecepatan pengangkatan) serbuk bor adalah merupakan perbedaan antara kecepatan di anulus, Vr, dan slip velocity, Vs. Dengan menggunakan power-law model, slip velocity serbuk bor dapat dihitung dengan persamaan :
1.2. Mengontrol Tekanan Formasi
Untuk keselamatan pemboran, tekanan formasi yang tinggi juga harus diimbangi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang tinggi, sehingga tekanan hidrostatik lumpur lebih besar dari tekanan formasi. Secara efektif perbedaan anatara tekanan hidrostatik lumpur dengan tekanan formasi (overbalance pressure) harus sama dengan nol, tetapi dalam praktek harganya sekitar 100 - 200 psi. Untuk mengontrol tekanan formasi tersebut dilakukan dengan mengatur berat (densitas) lumpur.
1.3. Mendinginkan serta melumasi pahat dan drillstring
Perputaran pahat dan drillstring terhadap formasi akan menghasilkan panas, sehingga dapat mempercepat keausan pahat dan drillstring. Selain panas yang ditimbulkan akibat gesekan juga panas yang berasal dari formasi itu sendiri, dimana semakin dalam formasi yang dibor, temperatur juga semakin tinggi. Dengan adanya lumpur pemboran, maka panas tersebut dapat ditransfer keluar dari lubang bor. Lumpur pemboran dapat membantu mendinginkan drillstring dengan menyerap panas dan melepaskannya, melalui proses konveksi dan radiasi, pada udara di sekitar mud pit. Lumpur pemboran juga dapat melumasi pahat dan drillstring dengan menurunkan friksi drillstring dan pahat dengan formasi yang ditembus. Untuk mendapatkan pelumasan yang lebih baik pada umumnya dapat ditambahkan sedikit minyak kedalam lumpur.
1.4. Membersihkan Dasar Lubang Bor
Secara umum, pembersihan dasar lubang bor dilakukan dengan menggunakan fluida yang encer pada shear rate tinggi saat melewati nozzle pada pahat. Ini berarti bahwa fluida yang kental kemungkinan besar dapat digunakan untuk membersihkan lubang bor, jika fluida tersebut mempunyai sifat shear thinning yang baik. Dan pada umumnya, fluida dengan kandungan padatan (solid content) yang rendah merupakan fluida yang paling baik untuk membersihkan dasar lubang bor.
1.5. Membantu Dalam Evaluasi Formasi
Sifat fisik dan kimia lumpur pemboran berpengaruh terhadap program well logging. Pada saat tertentu diperlukan informasi tentang kandungan hidrokarbon, batas air-minyak, dan lainnya untuk korelasi, maka dilakukan well logging, yaitu memasukkan sonde/alat kedalam sumur, misalnya log listrik, maka diperlukan media penghantar, dalam hal ini lumpur merupakan penghantar listrik. Sebagai contoh, lumpur dengan kadar garam yang tinggi akan menghambat pengukuran spontaneous potensial (SP) karena konsentrasi garam dari lumpur dan formasi hampir sama. Disamping itu, oil mud akan menghambat resistivitas karena minyak akan bertindak sebagai insulator dan dapat mencegah terjadinya aliran listrik. Oleh karena itu, pemilihan lumpur pemboran harus sesuai dengan program evaluasi formasi.
1.6. Melindungi Formasi Produktif
Perlindungan formasi produktif sangat penting. Oleh karena itu, pengendapan mud cake pada dinding lubang bor dapat mengijinkan operasi pemboran terus berjalan dan tidak menyebabkan kerusakan formasi produktif. Kerusakan formasi produktif biasanya akan menurunkan permeabilitas disekitar lubang bor.
1.7. Membantu Stabilitas Formasi
Pada lubang bor sering dijumpai adanya problem stabilitas yang disebabkan oleh fenomena geologi, seperti zona rekahan, formasi lepas, hidrasi clay, dan tekanan tinggi. Lumpur pemboran harus mampu mengontrol problem-problem tersebut, sehingga lubang bor tetap terbuka dan proses pemboran dapat terus dilanjutkan. Perencanaan sistem lumpur untuk menjaga stabilitas lubang bor sering digunakan sebagai basis untuk pemilihan jenis dan sifat lumpur.
2. Komposisi Lumpur Pemboran
Secara umum lumpur pemboran terdiri dari tiga komponen atau fasa pembentuk sebagai berikut :
1. Fasa cair (air atau minyak)
2. Fasa padat ( reactive solids dan inert solids)
3. Bahan kimia (additive)
2.1. Fasa cair
Fasa cair lumpur pemboran pada umumnya dapat berupa air, minyak, atau campuran air dan minyak. Air dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air tawar dan air asin. Air asin juga dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu air asin tidak jenuh dan air asin jenuh. Sekitar 75% lumpur pemboran menggunakan air, karena mudah didapat, murah, mudah dikontrol jika terdapat padatan-padatan (solid content) dan merupakan fluida yang paling baik sebagai media penilaian formasi. Istilah oil-base muds digunakan jika kandungan minyaknya lebih besar dari 95%. Sedangkan emulsion muds mempunyai komposisi minyak 50 -70% (sebagai fasa kontinyu) dan air 30 - 50% (sebagai fasa diskontinyu).
2.2. Fasa padat (solids)
Fasa padat dibagi dalam dua kelompok, yaitu padatan dengan berat jenis rendah dan padatan dengan berat jenis tinggi. Padatan berat jenis rendah dibagi menjadi dua, yaitu Non-reactive solid (inert solid) dan Reactive solid.
2.2.1. Reactive Solid
Reactive solid adalah clay, merupakan padatan yang dapat bereaksi dengan air, membentuk koloid. Clay dapat didefinisikan sebagai berikut :
Padatan dengan diameter kurang dari 2
Partikel yang bermuatan listrik dan mampu menyerap air
Material yang dapat mengembang (swelling) jika menyerap air
Clay (atau low-gravity reactive solid) ditambahkan ke dalam air agar diperoleh sifat-sifat fisik seperti viskositas dan yield point yang diperlukan untuk mengangkat serbuk bor atau untuk menjaga agar serbuk bor tidak mengendap pada saat tidak ada sirkulasi (lihat persamaan 1 dan 2). Mekanisme pembentukan viskositas dan yield point yang tinggi pengembangannya sangat komplek dan belum seluruhnya dapat difahami. Hal ini dihubungkan dengan struktur internal partikel-partikel clay dan gaya-gaya elektrostatik yang mempertahankannya jika clay terdispersi dalam air.
Pada dasarnya ada dua jenis clay yang digunakan dalam pembuatan water-base mud, yaitu :
a) Bentonitic clay (gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay montmorillonite (smectite), dan hanya dapat digunakan dengan air tawar, karena baik viskositas maupun yield point tidak dapat terbentuk pada air asin. Bentonit yang ada di pasaran bukan merupakan sodium montmorillonite murni, tetapi mempunyai kandungan sodium montmorillonite sekitar 60 -70%. Sodium montmorillonte adalah merupakan material yang berbentuk plat-plat seperti lembaran-lembaran buku. Plat-plat tersebut sangat tipis dengan ukuran partikel kurang dari 0.1 . Bentonit menyerap air tawar pada permukaan partikel-partikelnya, sehingga dapat menaikkan volumenya sampai 10 kali atau lebih, yang disebut “swelling” atau “hidrasi”. Besarnya swelling yang terjadi dapat dilihat dengan meningkatnya kekentalan atau viskositas lumpur, yang tergantung dari luas permukaan dan total jumlah air yang diserap oleh clay.
b) Attapulgite (salt gel) ; adalah merupakan anggota dari kelompok clay palygorskite, dan hanya dapat mengasilkan viskositas dan yield point yang tinggi baik pada air tawar maupun air asin. Salt water clay (attapulgite), akan terjadi swelling jika dimasukkan dalam air asin.
Gambar 14
Peralatan Solid Control Lumpur
PENYEMENAN SUMUR PEMBORAN
Gambar 15
Proses Penyemenan
Gambar 16
Sistem Pencegah Semburan Liar (BOP System)
Gambar 17
Sistem Tenaga (Power System)
Kelima sistem tersebut diatas mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lain. Dengan kata lain, bahwa kerja sistem-sistem tersebut berlangsung pada waktu yang bersamaan.
Operasi pemboran adalah merupakan suatu kegiatan yang terpadu dengan kegiatan-kegiatan lainnya dalam industri perminyakan.
Pada masa sekarang, operasi pemboran dapat dilaksanakan baik di darat (on-shore) maupun di lepas pantai (off-shore). Peralatan yang digunakan untuk operasi pada kedua tempat tersebut pada prinsipnya sama, perbedaannya adalah tempat untuk menempatkan menara (rig) serta perlengkapannya.
TEKANAN FORMASI DAN
GRADIEN REKAH
1. PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang tekanan formasi (tekanan pori) adalah merupakan hal yang sangat penting, karena tekanan formasi sangat berpengaruh terhadap casing design, densitas lumpur, laju penembusan, problem pipa terjepit dan well control. Perkiraan dan penentuan zona yang bertekanan tinggi sangat penting karena adanya resiko terjadinya blowout (semburan liar). Pada umumnya air asin yang terperangkap pada zona-zona yang berasosiasi dengan lapisan shale yang tebal terbebaskan selama proses sedimentasi berlangsung. Fenomena ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Proses kompaksi dapat digambarkan dengan sebuah model sederhana yaitu berupa sebuah selinder yang berisi suatu fluida dan sebuah pegas (mewakili matriks batuan). Overburden stress dapat disimulasikan dengan menggunakan sebuah piston yang ditekan kebawah pada selinder. Overburden (S) ditahan oleh pegas () dan tekanan fluida (p), maka :
S = + p ...................................................(1)
Jika tekanan overburden bertambah (karena proses sedimentasi terus berlangsung) maka beban tambahan tersebut harus ditahan oleh matriks dan fluida dalam pori. Pada formasi dimana fluida dapat bergerak bebas maka kenaikan beban harus ditahan oleh matriks, sedangkan fluida yang tersisa sebagai hidrostatik. Dalam kondisi tersebut maka tekanan formasi disebut Normal, dan nilainya proporsional terhadap kedalaman dan densitas fluida. Tetapi jika formasi tersebut tersekat sehingga fluida terperangkap, maka tekanan fluida tersebut akan bertambah diatas harga hidrostatik. Kondisi ini disebut sebagai Overpressure (yaitu bagian dari beban overburden ditransfer dari matriks ke fluida yang mengisi ruang pori). Luas bidang kontak antar butir tidak dapat bertambah karena hadirnya air yang tidak kompresibel, maka pertambahan beban tersebut akan ditransfer ke fluida, sehingga tekanan pori naik.
2. TEKANAN FORMASI NORMAL
Jika perlapisan sedimen terendapkan di dasar laut, maka butir-butir sedimen tersebut akan terkompaksi satu dengan yang lain, sehingga air akan terperas dari dalam ruang pori. Jika proses tersebut tidak terganggu, dan air bawah permukaan masih tetap berhubungan dengan laut diatasnya melalui ruang pori yang saling berhubungan, maka akan menghasilkan tekanan hidrostatik. Gradien hidrostatik (psi/ft) nilainya bervariasi tergantung dari densitas fluida. Pada umumnya air asin di lapangan minyak mempunyai kadar mineral terlarut bervariasi antara 0 sampai 200.000 ppm. Sehubungan dengan hal itu, maka gradien hidrostatik nilainya bervariasi antara 0,433 psi/ft (air murni) sampai sekitar 0,50 psi/ft. Pada umumnya secara geografis gradien hidrostatik diambil sebesar 0,465 psi/ft (dengan asumsi kadar garam 80.000 ppm). Gradien ini menunjukkan tekanan normal. Sedangkan untuk setiap tekanan formasi yang nilainya diatas atau dibawah 0,465 psi/ft disebut tekanan abnormal (overpressured).
Besarnya bulk density dari suatu batuan ditentukan oleh matriks dan air yang mengisi ruang pori.
atau
..........................................(2)
dimana ;
b = bulk density batuan berpori
m = densitas matriks
f = densitas fluida dalam ruang pori
= porositas
Karena litologi dan kadar fluida tidak konstan, maka bulk density nilainya akan bervariasi terhadap kedalaman.
Gradien overburden diturunkan dari tekanan yang dikenakan pada batuan diatas kedalaman tertentu. Hal ini dapat dihitung dari spesific gravity yang bervariasi antara 2.1 (batupasir) sampai 2,4 (batugamping). Dengan menggunakan spesific gravity rata-rata = 2,3, maka gradien overburden dapat dihitung :
2,3 x 0,433 = 0,9959 psi/ft.
Pada umumnya untuk perhitungan nilai gradien overburden dibulatkan menjadi 1 psi/ft, dan gradien overburden juga sering disebut sebagai gradien geostatik. Harus diingat bahwa gradien overburden nilainya bervariasi terhadap kedalaman karena kompaksi dan perubahan litologi, sehingga nilainya tidak dapat dianggap konstan.
3. TEKANAN ABNORMAL
Tekanan abnormal didifinisikan sebagai tekanan yang menyimpang dari gradien tekanan normal. Penyimpangan tersebut dapat Subnormal (kurang dari 0,465 psi/ft) atau Overpressured/Tekanan Abnormal (lebih besar dari 0,465 psi/ft). Secara umum tekanan subnormal jarang sekali dijumpai dan dapat menyebabkan masalah yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan overpressure. Tekanan abnormal terjadinya sangat berkaitan erat dengan adanya sealing mechanism. Penyekatan (sealing) mencegah adanya ketetimbangan tekanan yang terjadi dalam urutan proses geologi. Sekat (seal) terbentuk oleh adanya penghalang permeabilitas (permeability barrier) yang dihasilkan dari proses fisik maupun kimiawi.
Penyekat fisik (physical seal) dapat terbentuk dari efek gravitasi patahan selama proses pengendapan atau pengendapan dari bahan dengan ukuran butir yang lebih halus. Penyekat kimiawi (chemical seal) terbentuk karena adanya pengendapan kalsium karbonat, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penghalang permeabilitas rata-rata. Contoh lain dari adanya diagenesa kimia selama proses kompaksi adalah bahan organik. Baik proses fisika maupun kimia kemuanya akan menyebabkan terbentuknya penyekat, seperti proses pelarutan gypsum.
3.1. Tekanan Subnormal
Mekanisme terbentuknya tekanan subnormal (lebih kecil dari tekanan hidrostatik) dapat dijelaskan sebagai berikut :
(a) Ekspansi Panas (Thermal Expansion)
Karena batuan sedimen dan fluida yang mengisi pori berada pada lingkungan yang dalam, dimana temperatur juga mengalami kenaikan, maka fluida akan mengembang. Hal ini akan menyebabkan penurunan densitas, dan akibatnya tekanan akan berkurang.
(b)Formation Shortening
Selama proses kompresi berlangsung akan menyebabkan perlapisan batuan terlipat (bagian atas terlipat ke atas, sedangkan bagian bawah terlipat ke bawah), sehingga perlapisan bagian tengah akan mengembang, sehingga mengakibatkan terjadinya tekanan subnormal
(c) Deplesi
Jika hidrokarbon atau air diproduksikan dari formasi yang tidak mengalami efek subsidence, maka akan menyebabkan terjadinya tekanan subnormal. Hal ini sangat penting jika pemboran sumur dikembangkan pada reservoir yang telah lama diproduksikan. Sebagai contoh, gradien tekanan akuifer di salah satu lapangan minyak di Texas besarnya hanya 0,36 psi/ft.
(d) Penguapan
Pada daerah kering, seperti di Timur Tengah batas water table dapat berada pada kedalaman ratusan meter dari permukaan, hal ini akan menurunkan tekanan hidrostatik.
(e) Permukaan Potensiometrik
Permukaan potensiometris ini mengikuti relief formasi dan dapat menghasilkan baik tekanan subnormal maupun tekanan tinggi (overpressure). Permukaan potensiometris didefinisikan sebagaibatas ketinggian kenaikan air yang dibor dari aquifer yang sama. Permukaan potensiometris dapat berada ribuan foot diatas atau dibawah permukaan tanah
(f) Pergeseran Epirogenik
Perubahan elevasi dapat menyebabkan terjadinya tekanan abnormal pada formasi yang terbuka secara lateral, tetapi dibagian lainnya tersekat. Jika singkapan arahnya naik akan menghasilkan tekanan tinggi, dan jika arahnya ke bawah akan menghasilkan tekanan subnormal.
Perubahan tekanan jarang disebabkan oleh adanya perubahan elevasi saja, tetapi juga karena adanya proses erosi dan pengendapan. Adanya kehilangan atau pertambahan saturasi air pada batuan sedimen juga penting.
Batas besarnya tekanan subnormal kurang diperhatikan dalam praktek di lapangan.
3.2. Tekanan Formasi Abnormal (Overpressured Formation)
Ada beberapa formasi yang tekanan porinya lebih besar dibanding dengan kondisi “normal” (gradien 0,465 psi/ft). Tekanan formasi dapat diplot antara gradien hidrostatik dan gradien overburden (1 psi/ft). Beberapa contoh tekanan tinggi yang telah dilaporakan adalah :
Gulf Coast 0,8 - 0,9 psi/ft.
Iran 0,71- 0,98 psi/ft
North Sea 0,5 - 0,9 psi/ft
Carpathian Basin 0,8 - 1,1 psi/ft.
Dari data tersebut diatas terlihat bahwa tekanan abnormal dapat dijumpai di seluruh dunia. Mekanisme terbentuknya tekanan abnormal ada berbagai faktor, diantaranya adalah permukaan potensiometris dan penyusutan formasi (formation foreshortening).
Selain itu, mekanisme terbentuknya tekanan abnormal juga dapat disebabkan oleh :
(a). Kompaksi Sedimen yang tidak Sempurna
Pada proses pengendapan clay atau shale yang sangat cepat, maka air yang terbebaskan sangat kecil. Pada kondisi normal porositas awal yang tinggi (+/-50%) akan berkurang karena air terperas keluar melaui struktur pasir yang permeabel atau melalui penyaringan dari clay/shale itu sendiri. Jika proses sedimentasi terlalu cepat, sehingga tidak terjadi proses pembebasan air, akibatnya air akan terperangkap dan selanjutnya menahan tekanan overburden.
(b). Patahan
Patahan dapat merubah struktur batuan sedimen, sehingga zona permeabel berhadapan dengan zona impermeabel. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penghalang bagi aliran fluida, akibatnya air tidak dapat keluar dari shale dan selanjutnya akan menghasilkan tekanan abnormal.
(c). Perubahan Fasa Selama Proses Kompaksi
Mineral dapat mengalami perubahan fasa dengan naiknya tekanan, seperti gypsum + anhydrite + air bebas. Diperkirakan bahwa lapisan gypsum setebal 50 ft akan menghasilkan kolom air setinggi 24 ft. Sebaliknya anhydrite dapat terhidrasi pada kedalaman untuk menghasilkan gypsum dengan peningkatan volume sampai 40%. Transformasi montmorillonite menjadi illite juga akan melepaskan sejumlah air.
(d). Deposisi Batu Garam Masif
Deposisi batu garam dapat terjadi karena batu garam bersifat impermeabel, sehingga fluida dalam formasi yang berada dibawahnya akan menghasilkan tekanan abnormal. Tekanan abnormal biasanya dijumpai pada zona-zona dibawah perlapisan batu garam.
(e). Salt Diaperism
Gerakan keatas dari kubah garam yang berdensitas rendah karena adanya efek apung (bouyancy) yang mengganggu perlapisan sedimen akan menghasilkan anoma;i tekanan. Garam juga dapat berfungsi sebagai penghalang (impermeable seal) terhadap pembebasan air dari clay secara lateral.
(f). Kompresi Tektonik
Kompresi lateral sedimen dapat menghasilkan pengangkatan sedimen lapuk atau perlipatan sedimen yang lebih kuat, sehingga formasi yang secara normal terkompaksi akan naik ke bagian yang lebih tinggi. Jika tekanan mula tetap, maka pengangkatan formasi tersebut dapat menghasilkan tekanan abnormal.
(g). Migrasi Fluida
Migrasi fluida dari zona tekanan tinggi ke zona yang lebih dangkal yaitu dengan melalui patahan atau dari casing/semen yang buruk akan dapat menyebabkan terjadinya kick, karena perubahan litologi tidak dapat mendeteksi adanya tekanan yang tinggi. Dengan kata lain, bahwa tekanan abnormal dapat terjadi pada formasi-formasi dangkal jika terjadi migrasi gas dari formasi-formasi dibawahnya.
(h). Pembentukan Hidrokarbon
Shale yang terendapkan dengan sejumlah bahan-bahan organik akan menghasilkan gas, karena bahan organik akan terdegradasi pada saat proses kompaksi. Jika gas tersebut tidak terbebaskan, maka akan berkembang menjadi tekanan abnormal. Produk organik juga membentuk garam yang akan terendapkan dalam ruang pori, sehingga akan menurunkan porositas dan menghasilkan suatu penghalang (seal).
4. PROBLEM PEMBORAN YANG BERKAITAN DENGAN
TEKANAN FORMASI
Jika pemboran menembus formasi dengan tekanan hidrostatik lumpur yang cukup memadai, maka dapat mencegah :
1. lubang bor runtuh dan
2. masuknya fluida formasi.
Untuk mencapai kondisi tersebut, maka tekanan hidrostatik lumpur harus sedikit lebih besar dari tekanan formasi (disebut sebagai overbalance). Tetapi jika overbalance terlalu besar akan menyebabkan :
1. Menurunkan laju penembusan (chip hold down effect)
2. Hilang lumpur (aliran lumpur masuk ke formasi)
3. Rekah formasi (melebihi gradien rekah formasi)
4. Pipa terjepit (differntial pressure pipe stuck).
Tekanan formasi juga berpengaruh terhadap perencanaan casing. Jika zona tekanan abnormal berada diatas zona subnormal, maka densitas lumpur yang sama tidak dapat digunakan pada kondisi tersebut (karena zona bawah akan rekah). Untuk itu, maka zona atas harus dipasang casing, agar berat lumpur dapat diturunkan untuk melanjutkan pemboran pada zona bawah. Problem umum yang sering terjadi adalah penempatan surface casing terlalu tinggi, sehingga ketika pemboran menembus zona tekanan abnormal kick tidak dapat disirkulasikan keluar dengan lumpur berat karena terjadi rekah formasi pada zona atas yang tidak dipasang casing. Setiap rangkaian casing harus dipasang pada kedalaman maksimum berdasarkan data gradien rekah formasi. Jika hal ini tidak dilakukan, maka harus dipasang casing tambahan atau liner sebagai protektor. Hal ini bukan saja mahal, tetapi juga akan memperkecil diameter lubang bor, sehingga akan menimbulkan masalah pada saat sumur dikomplesi.
Berdasarkan hubungan antara tekanan formasi dengan problem-problem pemboran, maka tekanan formasi abnormal harus diidentifikasikan sebelum perencanaan program pemboran dilakukan.
5. ZONA TRANSISI
Perubahan tekanan fluida dari normal menjadi abnormal pada suatu interval zona impermeabel disebut sebagai zona transisi, yaitu akibat adanya air konat yang terperangkap pada saat proses sedimentasi. Jika zona transisi berupa lapisan shale yang tebal, maka tekanan formasi secara gradual bertambah besar. Zona transisi ini dicirikan oleh adanya perubahan gradien tekanan secara menyolok. Dibawah zona transisi abnormal gradien tekanan mengecil lagi. Variasi tekanan formasi pada sumur yang bertekanan abnormal. Zona transisi memberikan indikasi kepada kru pemboran supaya menyadari bahwa mereka akan menembus zona tekanan abnormal.
Gambar 18
Ploting Pressure Gradient
MASALAH PEMBORAN
(HOLE PROBLEMS)
Masalah-masalah yang berhubungan dengan pemboran sumur minyak sebagian besar disebabkan oleh karena adanya gangguan keseimbangan terhadap tegangan tanah (earth stress) di sekitar lubang bor yang disebabkan akibat adanya aktivitas pembuatan lubang bor itu sendiri, dan adanya interaksi antara lumpur pemboran dengan formasi yang ditembus.
Tegangan tanah bersama dengan tekanan formasi berusaha untuk mengembalikan keseimbangan yang telah ada sebelumnya, dengan cara mendorong lapisan batuan untuk bergerak ke arah lubang bor.
Untuk itu, lubang bor harus dijaga stabilitasnya dengan cara menyeimbangkan tegangan tanah dan tekanan formasi di satu sisi dengan tekanan lumpur pemboran di sekitar lubang bor serta komposisi kimia lumpur pada sisi yang lain.
Dalam modul ini akan diuraikan secara singkat tentang masalah-msalah yang paling sering terjadi pada saat operasi pemboran berlangsung. Sebagian besar materi modul ini diambil dari beberapa artikel maupun literatur terbaru yang pada saat ini banyak digunakan dalam industri perminyakan.
Masalah pemboran (hole problems) secara umum dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu :
1. Pipa Terjepit (Pipe Stuck)
2. Sloughing Shale, dan
3. Hilang sirkulasi (Lost Circulation)
Gambar 19
Problem Lubang Sumur
Gambar 20
Swelling Shale